Sragen, 15 Agustus 2024 — Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) TIM II Universitas Diponegoro melaksanakan program kerja “Dadung Awuk: Asal Usul Situs Dadung Awuk” di SD Negeri 2 Jambangan. Kegiatan ini merupakan upaya membangkitkan rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme pada anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar dengan meneladani tokoh yang berperan penting dalam menumpas penjajah Belanda. Program ini diinisiasi oleh Budi Astuti, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya setelah melihat Situs Dadung Awuk yang dulunya adalah tempat tinggal Joko Dandun yang merupakan anak dari Raja Brawijaya V, kehilangan eksistensinya. Hal ini disayangkan karena Dadung Awuk adalah tokoh yang berperan penting dalam menumpas tentara-tentara Belanda. Jejak-jejaknya seharusnya dapat memupuk rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air.
Mitos-mitos dan cerita seram seputar Situs Dadung Awuk dan sulitnya akses ke lokasi, membuat Situs Dadung Awuk lama tidak terdengar di telinga kebanyakan masyarakat hari ini. Jauh dari hari ini, pada era akhir Majapahit, di wilayah Jatigrombol hiduplah Joko Dandun yang juga menerima panggilan Dadung Awuk. Joko Dandun merupakan anak dari Raja Brawijaya V. Di Jatigrombol, ia dihormati sebagai pengusaha sekaligus sesepuh desa. Joko Dandun memiliki dadung atau tali yang terbuat dari akar gantung beringin.
Pada masa itu dadung dari sulur beringin sangatlah nyentrik mengingat pohon tersebut di keramatkan. Dadung miliknya digunakan untuk keluh sapi yang ia pelihara, yang mana pada masa itu jarang ada sapi peliharaan yang dikeluh. Dengan dadung miliknya itu, Joko Dandun juga membuat ikat keris yang dilingkarkan di pinggang. Karena dadung miliknya itulah ia disebut Dadung Awuk. Tempat ia tinggal kini menjadi situs bersejarah di Desa Jambangan.
Pada 31 Juli 2024, program dilaksanakan dengan partisipan sebanyak empat puluh siswa-siswi SD Negeri 2 Jambangan. Lewat buku cerita bergambar yang dibuatnya, mahasiswa KKN mengenalkan tokoh Dadung Awuk yang tempatnya tinggalnya menjadi Situs Bersejarah di Jambangan dengan cara yang menyenangkan. Buku-buku tersebut kemudian dibagikan di kelas-kelas besar agar bisa dibaca bergantian dan disimpan di ruang baca agar siswa-siswa di tahun ajaran selanjutnya bisa turut menyerap semangat nasionalisme dari tokoh mulia di sekitar tempat tinggal mereka.